Review Buku: Novel Api Tauhid karya Habiburrahman El-Shirazy
Judul : Api Tauhid
Penulis : Habiburrahman El-Shirazy
Penyunting : Syahruddin El-Fikri
Jumlah halaman : xxxvi + 574 halaman
Penerbit : Republika Penerbit
Kang Abik, sapaan akrab untuk Habiburrahman El-Shirazy yang dinobatkan sebagai Novelis No. 1 di Indonesia. Beliau selalu memberikan judul-judul yang fenomenal dalam setiap karyanya. Salah satu yang saya suka adalah novel berjudul Api Tauhid. Novel sejarah yang dibalut romansa Timur Tengah ini mampu membuat saya hanyut dalam ceritanya. Membaca tiap lembarnya seperti bertualang dalam tiga benua, tiga budaya, dan tiga zaman yang berbeda. Namun, dikemas rapi dalam kisah yang menggetarkan jiwa.
Membaca bab pertama, penulis menyuguhkan konflik batin yang sedang dihadapi oleh tokoh bernama Fahmi. Mahasiswa asal Lumajang yang melanjutkan studi S2 di Universitas Madinah ini tengah menghadapi masalah yang membuatnya nyaris putus asa. Kang Abik mampu menggambarkan gejolak batin yang dialami tokoh dengan detail, sehingga pembaca seolah berada dalam situasi tersebut. Fahmi yang notabenenya adalah santri, menghadapi masa-masa sulit dengan mendekat kepada Illahi. Dia memantapkan diri untuk mengkhatamkan Al-Qur’an sebanyak 40 kali di Masjid Nabawi dengan hafalan.
Fahmi digambarkan sebagai sosok lelaki yang cerdas, sholeh, dan seorang hafidz Qur’an. Karena alasan itulah Kiai Arselan, seorang ulama besar di Lumajang menitahkan untuk menjodohkan putri bungsunya dengan Fahmi. Namun, di luar dugaan –Nuzula, seorang putri kiai itu merupakan gadis modern pada umumnya. Budaya di kota metropolitan telah membuatnya melupakan adat istiadat pesantren yang sangat menjaga etika pergaulan. Ia sudah mengerti tentang pacaran, meski tetap menjaga kesuciannya. Fenomena sosial yang sarat akan ibrah ini mampu dikemas secara elegan oleh Kang Abik.
“Obat sakit hati karena kecewa yang paling baik adalah memaafkan dan mengikhlaskan”.
Dari “luka hati” itulah perjalanan spiritualnya dimulai. Perjalanan ke Negeri Turki dengan Kota Istanbul yang legendaris dan menjadi satu-satunya negara yang terletak di dua benua, yaitu Asia dan Eropa. Melukiskan jejak sejarah sebagai wujud keagungan cinta luar biasa kepada Sang Pencipta. Novel religi yang mengenalkan kepada saya tentang ulama besar yang mendapat julukan “Badiuzzaman” atau “Sang Keajaiban Zaman”. Beliau adalah Badiuzzaman Said Nursi.
Novel yang berlatar musim dingin Turki ini menceritakan kisah heroik Sang Mujaddid dalam memperjuangkan agama Islam. Hamza, seorang thullabun nur (sebutan untuk para penghayat Risalah Nur karya Said Nursi) mampu menghidupkan kembali peristiwa di balik tokoh yang sangat berpengaruh ini. Said Nursi sudah memperlihatkan kehebatannya pada usia muda, ia mampu menghafalkan puluhan kitab referensi penting di usia 15 tahun. Perjuangannya di bidang pendidikan terus berlanjut, ada kekhawatiran dalam dirinya mengenai sistem pendidikan pada saat itu.
“Negara Turki Utsmani saat ini sedang mengandung janin Eropa dan suatu saat nanti akan melahirkan pemerintahan cara Eropa.” (Halaman 310)
Seperti itulah kiranya situasi pada saat itu. Kekhalifahan Turki Utsmani seumpama singa yang kehilangan taringnya. Negara besar itu tak berdaya untuk melakukan perlawanan. Hampir seluruh wilayah dunia Islam dikuasai oleh kolonial Barat. Begitu pun dengan sistem pendidikan yang ada, pemerintah menggalakkan pendidikan umum sekuler dan membabat madrasah.
Perjuangan Said Nursi dalam melawan rezim sekuler dimulai dari sini. Perang besar tak terelakkan lagi, hingga pada akhirnya peradaban panjang Khalifah Utsmaniyah yang telah dibangun empat ratus tahun lalu akan runtuh di depan mata. Saya sampai meneteskan air mata, membayangkan betapa gigihnya ulama terdahulu dalam berjihad di jalan Allah.
Pada bab selanjutnya, dikisahkan bagaimana Said Nursi harus bertahan hidup dari penjara ke penjara, dari pengasingan ke pengasingan selama seperempat abad. Beliau tetap gigih menjaga nyala api tauhid, meski hendak dipadamkan dengan berbagai cara. Dari balik penjara itulah, Said Nursi berdakwah melalui karyanya. Satu persatu lembaran ia tulis, yang kemudian hari dikenal dengan nama Risalah Nur.
Di bagian akhir cerita, Kang Abik kembali memberi kejutan tak terduga. Romansa cinta Fahmi dan Nuzula yang penuh dengan lika-liku telah menemukan titik terangnya.
Sangat disayangkan dalam novel legendaris ini, beberapa kata yang digunakan adalah kata tidak baku. Sehingga kurang efektif jika dibaca. Selain itu, kesalahan penulisan sering saya temui. Tak ada gading yang tak retak. Tak ada sesuatu yang sempurna, namun ketidaksempurnaan itu bisa diantisipasi tentunya.
Beberapa narasi panjang dalam novel ini kerap membingungkan. Saya harus membaca berulang kali untuk bisa memahami satu kalimat, terlebih itu sejarah. Mungkin karena keterbatasan pengetahuan yang saya miliki, menyulitkan pemahaman saya.
Terlepas dari semua itu, novel sejarah ini sangat memukau. Banyak pengetahuan baru yang didapatkan setelah membacanya. Mengobrak-abrik emosi pembaca, namun juga memberikan ibrah yang luar biasa.
Badiuzzaman Said Nursi berkata dalam pidatonya,
“Diantara yang paling penting yang telah aku pelajari dan aku dapatkan dari kehidupan sosial manusia sepanjang hidup adalah bahwa yang paling layak untuk dicintai adalah cinta itu sendiri, dan yang paling layak dimusuhi adalah permusuhan itu sendiri.”