“Imunisasi” Mental untuk Minimalkan Kecewa - #StoicSession
![]() |
Mengatasi Kecewa | freepik |
Salah satu dosen statistika saya kerap mengatakan kalimat ini saat kelas berlangsung, “turunkan ekspektasi, supaya tidak terlalu kecewa”. Bukan keluar dari topik perkuliahan, tapi saat itu kami memang sedang membahas materi ekspektasi dalam statistika.
Sebenarnya apa sih ekspektasi, kenapa dia berpengaruh terhadap kadar kekecewaan? Menurut KBBI, ekspektasi berarti pengharapan. Ketika kita menaruh harapan yang terlalu tinggi pada sesuatu, maka bersiaplah untuk kecewa. Sebab harapan tidak selalu menjadi kenyataan, jadi selalu siapkan ruang untuk kecewa.
Dalam stoa ada sebuah paradoks yang cukup ampuh untuk menghindari kecewa, yaitu premeditatio molarum. Memikirkan kemungkinan terburuk atas suatu hal agar tidak kaget saat betulan terjadi. Bukannya itu termasuk negative thinking, ya?
Kita seringkali dibuat jengkel pada hal-hal di luar dugaan. Misalnya ketika berangkat ke kampus atau kantor, kita melewati jalan yang sama dan selalu macet. Kemacetan itu tidak terlalu menyebalkan saat kita sudah memprediksi sebelumnya. Sehingga ketika betulan macet kita bisa dengan santai mengatakan, “seperti dugaanku.” Sudah merasakan perbedaannya dengan pikiran negatif?
Praktik premeditatio molarum atau memikirkan hal buruk yang mungkin terjadi adalah antisipasi dari kekecewaan. Ketika kita bisa mengubah hal “tak terduga” menjadi hal “yang diantisipasi”, maka efek tidak enaknya akan jauh berkurang saat hal itu benar-benar terjadi.
Hal ini serupa dengan imunisasi, yaitu pemberian vaksin untuk membuat tubuh kebal terhadap penyakit tertentu. Vaksin ini berisi kuman yang telah melalui proses pelemahan, sehingga biasanya ada efek demam setelah imunisasi karena tubuh sedang membentuk sistem kekebalan baru. Mudahnya sistem kekebalan tubuh bisa mempersiapkan diri melawan ketika kuman yang sesungguhnya datang.
Seneca dalam Moral Letters mengatakan bahwa:
“Musibah terasa lebih berat jika datang tanpa disangka, dan selalu terasa lebih menyakitkan. Karenanya tidak ada sesuatu pun yang boleh terjadi tanpa kita sangka-sangka. Pikiran kita harus selalu memikirkan semua kemungkinan, dan tidak hanya situasi normal. Karena adakah sesuatu pun di dunia yang tidak bisa dijungkirbalikkan oleh nasib.”
Sikap waspada membuat kita bersiap untuk menghadapi skenario terburuk. Jika kita melakukan perjalanan jarak jauh dengan kendaraan pribadi dan mengantisipasi ban bocor, minimal kita bisa mempersiapkan ban serep dan peralatan pendukungnya.
Praktik ini bisa diteruskan pada masalah besar lain, di mana prinsipnya kita berlatih membayangkan jika berada di situasi tersebut sehingga bisa mengantisipasinya dan tidak kaget saat hal itu terjadi.
Stoisisme mengajarkan bahwa memiliki kesehatan, anggota tubuh yang lengkap, lahir di keluarga yang harmonis, tidak kekurangan secara materi, bisa melanjutkan pendidikan, dan segala yang patut disyukuri dalam hidup, bahwa semua itu hanyalah pinjaman.
Perlu diingat bahwa kita hanyalah ‘peminjam’, bukan ‘pemilik’. Artinya, kita harus selalu bersiap kapan pun ‘pinjaman’ itu diambil oleh pemiliknya.
“Musibah terasa paling berat bagi mereka yang mengharapkan hanya keberuntungan.”
– Seneca (On Tranquility of Mind)
Jadi, siapkah kamu melakukan “imunisasi” mental ala stoic ini?
Premeditatio molarum ini baguan yang cukup menantang bagiku. Karena, kalau terlalu dipikirkan jattuhnya nanti seperti law of attraction, menarik kemungkinan buruk. Tapi, kalau hanya sekadar menyadari kemungkinan buruk yang mungkin saja terjadi, masih aman lah. Kita masih bisa siap siap tanpa menarii kemungkinan buruk tersebut
Premeditatio molarum ini sesuatu yang susah untuk aku kendalikan. Dari dulu. Karena seringnya malah bikin aku overthinking, cemas, sampai efeknya ke telapak tangan dan kaki berkeringat.