Kartini Memeluk Mimpi
![]() |
sumber: canva |
Seorang gadis termenung di beranda rumah, raut wajahnya tampak menunjukkan kekhawatiran. Sejak pulang dari surau tadi, ia berjalan bolak-balik di depan kamar orang tuanya hingga ke beranda rumah.
“Lama banget bapak sama ibu ngobrolnya,” gumam gadis itu seraya menggigit bibir bawahnya. Keputusan bapak menjadi penentu bagi masa depan Tini, gadis yang sebentar lagi akan lulus dari sekolah menengah atas. Seperti kebanyakan temannya, ia ingin sekali melanjutkan kuliah. Namun, hal itu menjadi tidak lazim bagi keluarganya. Sejak dulu, tak ada satu pun wanita di keluarga Tini yang memiliki pendidikan tinggi. Paling mentok hanya lulusan SMP.
Pintu kamar orang tuanya berderit, batin Tini semakin menjerit. Ia harap jawaban yang keluar dari mulut bapak adalah kabar baik buat dirinya, juga masa depannya.
“Ayo, Nduk¹. Bapak sama ibu mau ngomong sama kamu,” ujar lelaki yang sangat dihormatinya itu. Tini pun mengikuti langkah kedua orang tuanya menuju ruang tamu.
“Nduk, ibumu bilang kalau kamu pengen kuliah. Benar begitu?” tanya bapak seraya menatap Tini lembut, namun menusuk hingga ke relung hatinya. Gadis itu mencoba menjawab setenang mungkin.
“Nggih², Pak. Tini pengen lanjut kuliah.” Gadis itu melempar pandangan ke arah ibunya, mencoba mencari dukungan.
Bapak terdiam sejenak, menatap putri bungsunya takzim.
“Kamu tahu ‘kan bagaimana tradisi di keluarga kita? Anak perempuan yang sudah lulus sekolah dan cukup umur, artinya mereka telah siap untuk berpisah dari orang tuanya,” ujar Pak Taslim dengan kelembutan yang tak berkurang sedikit pun, menimbulkan tanya dalam benak Tini.
“Iya,” jawab Tini begitu lirih, mungkin hanya dirinya sendiri yang mendengar.
“Mbak Yu kamu, dulu menikah setelah lulus SMP. Sekarang hidupnya mapan, Nduk. Suaminya sukses, anaknya banyak. Anaknya Pakde, Mbak Asri, lulus SMA juga langsung dilamar sama anak lurah. Sekarang, jadi Bu lurah dia.” Gelak tawa Bapak pecah ketika mengucapkan kalimat terakhir.
Kini gadis itu sadar, ke mana arah pembicaraan mereka. Ia ingin memperjuangkan mimpinya untuk menjadi seorang guru Bahasa Inggris, pelajaran yang amat dikaguminya sejak sekolah dasar. Namun, perkataan bapaknya barusan serasa menghempaskan dirinya begitu jauh.
“Nggih, Pak. Tini ngerti, kok,” tukas gadis itu seraya beranjak dari duduknya. Percuma ia tetap di sana, menambah rasa sesak dalam hati saja.
Ketika Tini hendak memasuki kamarnya, bapak berdiri.
“Memangnya Bapak bilang kalau mau menikahkan kamu?” Pertanyaan itu mampu membuat Tini berbalik, matanya tampak berbinar.
“Nduk, buktikan kalau kamu memang mampu kuliah di kampus terbaik. Katanya pengen bisa ngomong kayak bule,” ujar ibu dengan seutas senyum. Tini masih mematung di tempat, belum percaya sepenuhnya dengan ucapan ibu barusan.
“Lho, nggak senang?” tanya bapak memastikan. Gadis itu buru-buru mencium tangan kedua orang tuanya, air matanya tumpah seketika.
“Aku akan berjuang, Bu. Pasti.”
***
SMAN 1 Pati riuh seketika, saat seorang guru memberikan pengumuman penting. Semua siswa kelas 12 disuruh datang ke sekolah untuk melihat hasil tes masuk perguruan tinggi. Tak terkecuali Tini, gadis itu telah menunggu sejak tadi. Ia menyelip di antara puluhan temannya yang berebut ingin melihat papan pengumuman.
Sorot matanya fokus pada daftar itu, mencari namanya. Nihil. Dari sekian banyak nama berawalan huruf ‘K’, tak ada namanya di sana. Gadis itu belum menyerah, ia kembali mengulangi dari daftar teratas, barangkali ada satu nama yang luput dari pandangannya.
Satu persatu kerumunan itu mulai berkurang, beberapa siswa bersorak kegirangan ketika namanya tertera dalam daftar. Satu dua siswa bahkan sampai bersujud syukur sebagai wujud kebahagiaan. Namun, tak sedikit yang menangis histeris, bahkan tak sadarkan diri. Harapan mereka terlalu besar atau mungkin terlalu yakin jika mereka akan lolos.
Sementara Tini, gadis itu perlahan mundur. Wajahnya tertekuk dengan raut muka yang diselimuti mendung. Tulang persendiannya lemas seketika, ia memilih mendudukkan diri di kursi taman belakang sekolah. Mimpinya kian lama kian mengabur, semakin jauh dari pandangan.
“Apa aku harus berakhir sama seperti Mbak Mur, yang hanya menghabiskan waktu di dapur?” gumamnya dalam kesendirian, bersamaan dengan butiran bening yang jatuh dari pelupuk matanya.
***
Ketika Tini menyandarkan sepeda di samping rumah, ia melihat jika keluarga besarnya telah berkumpul di ruang tamu. Menunggu pengumuman penting tentang kelulusan Tini. Belum sampai ia mengucap salam, Mbak Mur sudah melemparkan pertanyaan kepadanya.
“Gimana, lulus?” cerca Mbak Mur dengan pertanyaan yang cukup menohok, membuatnya diam seketika. Murni, kakak perempuan tertuanya itu tersenyum sinis, seolah meremehkan adiknya.
“Wes, gak usah ngoyo kuliah segala. Wong wadon kui tugase mung telu, masak, macak, lan manak!³” ucap wanita itu sambil menggendong anaknya yang baru berumur lima bulan.
“Biar Tini ngomong dulu, kamu diam!” seru Mas Bayu, kakak pertamanya. Sejak dulu, hanya dia yang selalu mendukung Tini dan semua cita-citanya.
“Maaf, belum rezeki Tini,” jawab gadis itu dengan wajah tertekuk. Mendengarnya, Murni lantas tertawa. Sementara Bayu, ia memeluk adik bungsunya, mencoba menenangkan.
“Ya sudah, Nduk. Kamu istirahat dulu sekarang.” Ibu menggandengnya ke kamar, tak ingin putrinya bertambah sedih ketika harus mendengar perkataan pahit dari kakak perempuannya.
Sayup-sayup suara mereka masih terdengar dari kamar. Mas Bayu masih kokoh dengan pendiriannya untuk membiayai kuliah Tini, begitu pun dengan ibu. Namun, Mbak Mur tetap saja meremehkan adiknya dengan perkataan yang semakin menjatuhkan mental Tini.
“Kartini itu perempuan, mau sekolah setinggi apa pun pasti bakalan di dapur juga tugasnya. Sudah lah, langsung dicarikan suami saja.”
Batinnya memberontak, ingin rasanya ia berteriak kepada semua anggota keluarganya, terlebih Mbak Mur.
“Perempuan itu juga punya hak buat belajar, Mbak Mur.”
***
Sejak kejadian itu, Tini lebih sering mengurung diri di kamar. Ia hanya keluar untuk keperluan yang sangat penting saja, selebihnya ia habiskan waktu berkutat dengan laptop. Ketidakadilan yang ia rasakan dalam keluarga ini tentang hak anak perempuan membuatnya semakin kritis. Jemari tangannya lincah berlarian di atas keyboard, mengeluarkan segala sesuatu yang terpendam dalam hatinya.
Tanpa ia sadari, sudah puluhan ribu kata yang ia tuliskan.
“Nduk, kamu belum makan dari tadi. Keluar sebentar saja.” Ibunya berusaha membujuk gadis itu, namun sia-sia saja. Rasa kecewa begitu dalam menancap di hatinya, orang tuanya hanya memberikan satu kesempatan pada Tini. Jika ia gagal masuk tes perguruan tinggi itu, maka sirna juga mimpinya selama ini.
“Kalau aku tidak bisa kuliah, maka aku tak akan melewatkan masa mudaku dengan menikah. Tidak akan,” ucapnya teguh seraya terus mengetik. Senyumnya mengembang ketika ia berhasil mengirim naskah itu ke surat kabar.
Ia akan terus memeluk setiap mimpinya, tak akan pernah membiarkannya kalah oleh keadaan. Apabila keluarga tak mampu menerima cita-citanya, maka ia akan bercerita pada dunia.
***
¹. Panggilan untuk anak perempuan dalam bahasa Jawa. Seperti halnya ‘Nak’ dalam bahasa Indonesia.
². Iya (dalam bahasa Jawa)
³. Sudah, jangan ngotot ingin kuliah segala. Perempuan itu tugasnya hanya 3, memasak, berdandan, dan melahirkan!
Kak, aku harap ini cerita bersambung. Aku gak sabar dengan lanjutannya 😍
Sejauh ini saya masih heran dengan pemikiran orang-orang yang mengatakan bahwa pendidikan bagi perempuan bukan suatu hal yang penting
Yeay, Tini mau jadi penulis. Ini ada lanjutannya nggak, sih? Gemes banget sama Mbak Murni. Adiknya lagi sedih, malah diketawain. Untung ada Mas Bayu.
Bakal ada lanjutannya nggak mbakk? Sayang banget kalau nggak dilanjut. Ceritanya dekat sekali dengan apa yang dialami anak perempuan di beberapa lingkungan
Loo... Aku bacanya kok jadi sedih, jadi ikutan ngenes, kasian Tini. Sabar ya Dek Tini, nggak papa belum bisa kuliah. Kan masih bisa daftar lagi tahun berikutnya. Pasti ada jalan untuk mimpimu! Semangat ya...