Patah Perdana
![]() |
Sad Girl | Foto dari freepik |
Menatapnya dari kejauhan barangkali adalah nikmat terbesar bagiku, bocah yang kerap dibilang cupu. Arga Mahesa, seantero sekolah pasti mengenalnya. Paras rupawan, aktif dalam kegiatan apa pun, dan sikapnya yang humble menjadi daya tarik utama. Kukira mustahil bagi seorang gadis untuk tidak menaruh kagum padanya.
Lihatlah kini, dia tengah menjadi bintang di tengah lapangan futsal, memainkan bola dengan begitu lincah. Aksinya itu mengundang teriakan heboh para gadis, memekakkan telinga buatku yang duduk di sebelah mereka.
“Satya!” seru Juna seraya menepuk pundak, membuatku melempar tatapan kesal padanya.
“Novel mulu yang diperhatiin, lihat tuh si Arga lagi main futsal!” tunjuknya ke arah lapangan diikuti kekehan pelan.
Aku memutar bola mata jengah, meskipun kini sedang berupaya menahan gemuruh di dada. Novel ini hanya pengalihan saja, nyatanya sejak tadi pikiranku tak bisa lepas darinya. Keringat yang bercucuran di dahi membuat Arga berkali-kali lipat lebih keren dari biasanya. Jantungku semakin berdegup tak karuan.
Akhirnya, demi meredakan gemuruh ini, aku melenggang pergi begitu saja. Mengabaikan Juna yang sejak tadi berteriak memanggil namaku.
“Satya, awas!” pekiknya bersamaan dengan sebuah bola yang menghantam punggungku dengan keras. Aku pun berteriak sama hebohnya dengan Juna, memegangi punggung yang kini terasa begitu nyeri. Bersiap memaki, aku pun menengok ke belakang dengan wajah begitu kesal.
“Maaf, ya.” Emosi yang sudah berada di ubun-ubun menguap begitu saja. Aku tak berkedip sedikit pun, diikuti dengan mulut setengah menganga. Arga berdiri di hadapanku.
“Sorry, ya. Nggak sengaja tadi,” ungkap Arga seraya menangkupkan tangannya di depan dada, menunggu jawaban dariku. Kiyowo banget, batinku.
“Eh, i-iya. Ng-nggak apa, kok,” jawabku kikuk. Dia berlalu pergi seraya mengacungkan jempol ke arahku, tak lupa dengan senyum yang membuat gemuruh ini semakin hebat.
“Keras kepala, sih!” gerutu Juna seraya meneloyor kepalaku. “Kan tadi udah diteriakin, masih aja ngeyel.”
Omelannya itu bagaikan angin lalu, karena sekarang bunga sedang bermekaran di hatiku. Ada desir hangat yang mengalir di dada, entah apa itu.
***
Seperti biasa, pulang sekolah kerap kuhabiskan untuk mampir ke perpustakaan daerah. Buat siswa dengan saku pas-pasan sepertiku, meminjam buku adalah salah satu cara untuk menyalurkan hobi. Aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk menamatkan novel sekali duduk, bahkan di dalam kelas pun sering mencuri waktu untuk baca novel. Kuselipkan di buku atau meletakkannya di laci meja.
Bangunan ini terbagi menjadi 3 gedung, 2 untuk ruang baca dewasa dan anak, serta yang satu lagi untuk staf perpustakaan. Penjaga di sini mungkin sudah hafal denganku karena seringnya datang ke mari.
“Cari buku apa, Dek Satya?” Seorang petugas bertanya ramah ke arahku, usianya mungkin sama dengan ibu.
“Mau lihat-lihat dulu, Pak,” jawabku yang dibalas dengan anggukan serta seutas senyum.
Berada di antara ratusan, bahkan ribuan buku terkadang membuatku kalut. Khayalku melayang begitu saja, memimpikan kamar dengan rak tinggi yang penuh dengan buku. Ah, betapa senangnya jika itu terjadi.
Tiba di deretan novel, tanganku mulai cekatan memilah. Buku-buku yang sudah ada di list menjadi prioritas, jika tak ada baru beralih ke buku lain. Begitu tiba di ujung lorong, pandanganku terfokus pada sosok di depan rak. Bersama temannya, ia tampak bingung menentukan buku mana.
Aku ragu untuk berjalan ke sana, padahal tinggal tempat itu yang belum kujamah. Buku incaranku kemungkinan besar ada di sana. Aku beringsut mundur perlahan, hingga tanpa sengaja tanganku menyenggol sebuah buku hingga terjatuh.
Sontak kedua orang itu menengok ke arahku, pandangan kami bersirobok. Ia menatapku cukup lama, hingga membuatku jengah dan buru-buru menunduk. Sial! Gemuruh ini kembali terasa.
Ketika hendak melangkah pergi, ia memanggilku.
“Eh! Yang tadi kena bola, ya?”
Kepalang tanggung, aku pun hanya bisa mengangguk. Berharap dia tak mendengar degup jantung yang serasa akan copot ini.
“Sekali lagi maaf, ya,” ujarnya lagi, sementara aku meremas ujung seragam untuk menyembunyikan kegugupan.
“Oke. Cari buku apa, Ga?” pertanyaan itu melontar begitu saja dari mulutku, dia tampak terkejut.
“Oh, nggak kok. Cuma lihat-lihat novel yang bagus aja,” jawabnya sambil meraih sebuah buku bersampul hati.
“Udah dapet bukunya, Ga?” tiba-tiba seorang gadis seusiaku mendekat ke arah kami.
Kirana, siapa yang tak mengenalnya. Sama seperti Arga, ia bagaikan primadona di sekolah kami. Dan kini mereka pergi bersama ke perpustakaan, tidak ada yang salah, sih. Hanya saja dengan perasaan gemuruh ini, melihat pemandangan mereka berdua pergi bersama membuatku jengah.
“Arga, aku duluan, ya. Bukunya udah dapat,” ucapku seraya menyambar sembarang buku di rak. Daripada berlama-lama di sini dan melihat interaksi mereka, lebih baik ku pergi. Semoga dia tak mendengar getaran dari suaraku. Mataku memanas, jangan sampai aku menangis di sini.
Buku tadi ku letakkan begitu saja ke keranjang di sudut ruangan, tempat buku-buku yang telah dibaca dikembalikan. Tanpa basa-basi, aku berlari meninggalkan tempat ini. Menghiraukan tatapan heran para pengunjung yang datang saat itu, aku merutuk pada nasib sialku hari ini. Dan pembawa kesialan itu adalah orang yang sama.
Aku mengayuh sepeda dengan cepat, menuju ke tempat paling nyaman untuk meluapkan emosiku saat ini.
Begitu sampai di penjual bakso langganan, aku langsung duduk di sudut ruangan yang sepi agar tidak terganggu lalu lalang pengunjung lain.
“Mak, bakso satu mangkuk sambalnya yang banyak, ya.”
Makan bakso super pedas, orang lain tak akan sadar jika aku sedang menangis. Mungkin mereka hanya mengira aku sedang kepedasan.
Benar saja, bakso ini tandas denganku yang beruraian air mata.
“Ya Allah, pedes banget ya sampai nangis gitu!” seru Mak Ti keheranan ketika melihat segumpal tisu di hadapanku.
”Iya, Mak. Panas,” jawabku penuh penekanan seraya mengusap air mata dengan punggung tangan. Sementara Mak Ti hanya menggeleng-gelengkan kepala. Tempat lesehan di belakang alun-alun ini akan menjadi saksi bisu bagaimana seorang Satya patah untuk pertama kali.