Laut Bercerita, Ketika Sejarah Berkisah
![]() |
Identitas Buku
Judul buku: Laut Bercerita
Penulis: Leila S. Chudori
Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tahun terbit: 2017
Jumlah halaman: 379 halaman
Apa yang terbesit dalam pikiranmu saat mendengar judul novel ini, Laut Bercerita? Jujur saat pertama kali melihat judul dan belum tahu siapa penulisnya, saya pikir buku ini bercerita tentang keindahan laut atau minimal cerita yang berlatar laut. Namun, saat mengetahui siapa Leila S. Chudori dan membaca karya-karya beliau sebelumnya, ternyata buku ini sangat jauh dari kesan “indah” laut.
Leila Salikha Cudhori merupakan seorang penulis yang kerap menjadikan sejarah sebagai latar belakang novelnya. Tak tanggung-tanggung, ia mengambil sejarah besar di negeri ini dan berani menyorotinya dari sudut pandang yang berbeda. Meski tersirat, novel ini merupakan bentuk kritik penulis terhadap sejarah yang kerap disampaikan satu arah.
Sebelumnya di tahun 2012, Leila sudah terlebih dulu menerbitkan novel berjudul Pulang. Novel yang menceritakan tragedi berdarah di negeri ini dan dampak bagi beberapa orang tertentu hingga kini. Dengan karyanya tersebut, penulis kelahiran 1962 ini berhasil memenangkan Prosa Terbaik Khatulistiwa Literary 2013. Baru lima tahun setelahnya, Leila menerbitkan novel Laut Bercerita yang mendapat banyak respons positif dari pembaca.
Sinopsis
![]() |
Novel Laut Bercerita | Foto oleh Laila RI |
Laut Bercerita bertutur tentang kisah keluarga yang kehilangan, sekumpulan sahabat yang merasakan kekosongan di dada, sekelompok orang yang gemar menyiksa dan lancar berkhianat, sejumlah keluarga yang mencari kejelasan makam anaknya, dan tentang cinta yang tak akan luntur.
Barangkali dengan membaca blurb dari novel ini, kalian sudah tau peristiwa besar apa yang melatarbelakangi cerita di dalamnya. Sejarah besar yang seolah dilupakan, sehingga perlu sebuah gebrakan yang muncul agar orang-orang kembali teringat. Tragedi Penculikan 1998.
Biru Laut Wibisana, seorang mahasiswa sastra Indonesia sekaligus aktivis yang berjuang bersama rekan-rekannya untuk menggulingkan rezim Orde Baru. Namun, bukan perjuangan namanya jika tak ada halangan dan rintangan.
Para mahasiswa yang tergabung dalam Wirasena ini sering melakukan aksi protes atas beberapa kebijakan pemerintah yang dirasa merugikan rakyat.
Kegiatan mereka kerap tercium aparat yang saat itu teramat ketat dalam mengatur kebebasan berpendapat.
Terbukti beberapa aksi mereka terciduk, salah satunya diskusi Kwangju yang tiba-tiba disergap intel ketika sedang berlangsung. Tak kenal menyerah, mereka bersama kelompok Winatra dan Taraka kembali bergabung atas nama Aksi Mahasiswa untuk Blangguan.
Kawasan tersebut dipilih karena adanya konflik antara petani dan tentara, di mana petani dirugikan dalam hal ini. Lahan jagung mereka digusur secara paksa sebab akan digunakan untuk latihan tentara dengan mortar dan senapan panjang. Karenanya tokoh Sang Penyair dan Laut memiliki gagasan untuk melawan tentara dengan menanam jagung.
Peristiwa inilah yang menjadi awal mula penculikan yang dialami oleh Laut, Alex, Daniel, Sunu, Julius, dan Dana. Aksi Blangguan terendus intel dan membuat mereka berakhir di sebuah tempat yang asing, mereka mengalami interogasi yang tak manusiawi.
Alih-alih ditempatkan secara layak, mereka dikurung di ruang bawah tanah yang lebih layak disebut sebagai kerangkeng singa. Mendapat berbagai siksaan yang membuat mereka babak belur, bahkan dipaksa berbaring di atas balok es. Untungnya kali itu mereka masih dibebaskan.
Baru saat terjadi peristiwa 27 Juli 1996 di Kantor Pusat PDI dan Wirasena dijadikan kambing hitam, mereka semua menjadi buron. Hingga akhirnya pada tanggal 13 Maret 1998, mereka (Laut, Alex, Daniel) diringkus saat berada di rumah susun Klender. Berikutnya adalah penyiksaan tragis yang pasti membuat pembaca bergidik ngeri hingga tak sadar meneteskan air mata.
Bagian paling menyedihkan adalah ketika keluarga denial atas hilangnya anak mereka. Hidup dalam gelembung yang mereka ciptakan sendiri sebagai bentuk penyangkalan, itulah yang terjadi pada orang tua Laut dan mereka yang kehilangan anggota keluarganya.
Dari situlah Asmara Jati, adik perempuan Biru Laut, bersama rekannya membentuk Komisi Orang Hilang untuk membuat strategi pencarian dan pendataan mereka yang belum kembali.
Menjadi Awal Mula Melek Sejarah
Usai membaca novel tersebut, apa yang terjadi? Tentu saya bengong, sedih, merasa hampa dan kehilangan, perasaan ngeri, bahkan marah. Berbagai emosi tersebut lantas memunculkan pertanyaan baru, benarkah peristiwa mengerikan itu pernah terjadi di Indonesia?
Kemudian saya membaca catatan penulis di akhir buku, di sana ia menyebutkan beberapa referensi dalam menulis novel ini. Saya cukup terkejut ketika Leila menyebut bahwa dia melakukan wawancara dengan korban penculikan secara langsung. Berarti penyiksaan tragis itu betulan terjadi?
Begitulah adanya, mungkin inilah output yang diharapkan penulis usai pembaca menamatkan novel Laut Bercerita, supaya melek sejarah. Setelah itu, mengalirlah pencarian saya atas apa yang sebenarnya terjadi pada tahun itu. Mencari nama-nama tokoh di dunia nyata yang terlibat dan apa yang terjadi pada mereka sekarang.
Hal ini membuktikan bahwa sejarah yang dikemas dengan apik ternyata mampu membangkitkan semangat nasionalisme dalam diri seseorang.
Saya sendiri misalnya, sebelumnya saya hanya tahu jika pada tahun 98 ada peristiwa lengsernya Presiden Soeharto. Tetapi apa yang melatarbelakangi, bagaimana kondisi saat itu, hingga siapa saja yang terlibat saya tidak tahu. Barulah usai tahu gambaran bahwa rezim itu teramat mengerikan, saya tergerak mencari informasi.
Tak lain adalah karena piawainya Leila S. Chudori dalam meramu kata dan mendeskripsikan secara detail, sehingga pembaca turut membayangkan dan merasakan atmosfer suasana saat peristiwa terjadi. Novel ini menggunakan alur campuran, sehingga pembaca harus jeli agar tidak bingung ketika menangkap informasi.
Menggunakan dua sudut pandang, yaitu Biru Laut yang menceritakan tragedi yang dialaminya dan Asmara Jati yang menggambarkan kondisi pasca penculikan. Bagi saya ini menarik, sebab pembaca disuguhkan dengan sudut pandang yang utuh, tidak hanya satu sisi.
Mungkin karena terlalu larut dalam cerita, saya tidak menemukan celah dalam novel ini. Hanya saja, alur yang maju-mundur beberapa kali membuat saya kebingungan dan harus membacanya ulang.
![]() |
Novel Laut Bercerita | Foto oleh Laila RI |
Terakhir, tepat di hari Aksi Kamisan ke-824, semoga tulisan ini menjadi pengingat bahwa ada peristiwa besar yang masih menjadi tanda tanya. Ada orang tua yang menunggu kejelasan makam anaknya, ada istri yang masih menunggu kedatangan suaminya, juga anak yang bertanya-tanya keberadaan ayahnya. Ada banyak hal yang butuh kepastian.
Semoga kelak keadilan itu akan datang. Semoga tak ada lagi Biru Laut dan mereka yang dihilangkan.
Matilah engkau mati
Kau akan lahir berkali-kali ....
Sedih banget kalau dengar atau bca cerita tentang tragedi 98 ini. Terlebih melihat aksi kamisan yang masih ada sampai sekarang.
Baca cerita dengan latar tragedi tahun 98 memang selalu bikin hati teriris, Kak. Seperti ikut merasakan luka kehilangam itu
Saya sedang membaca ulang Laskar Pelangi. Rencananya setelah buku itu tamat, saya akan membaca Laut Bercerita ini. Dari blurb-nya sepertinya ini genre favorit saya. Namun, belum baca saja nyeseknya sudah terasa.
Kalau dari judul bukuny tdk expect kalau bercerita tntang sejarah...jadi ingat kta bung karno...jas merah.jangan sekali-kali melupakan sejarah
Sudah lama penasaran sama novel satu ini. Beberapa kali baca ulasannya, dan kali ini saya lebih mantap untuk baca bukunya langsung, Kak.