Review Novel Pulang: Memeluk Luka, Menjemput Bahagia
ilustrasi novel Pulang - goodreads |
Karya Tere Liye tidak perlu diragukan lagi, buku-bukunya tetap memukau dan menarik untuk diikuti hingga akhir. Novel Pulang ini mengisahkan tentang dunia hitam atau shadow economy, membuat saya sulit berhenti membalik setiap lembarnya karena alur dan konflik yang begitu seru.
Ada satu kisah menarik yang mampu saya petik dari novel ini, tentang makna Pulang yang sebenarnya. Bagaimana pun masa lalu yang pernah dilalui, selalu ada tempat untuk pulang. Selalu ada kesempatan untuk memperbaiki diri, menyesali setiap perbuatan buruk yang pernah dengan atau tanpa sengaja kita lakukan, memaafkan diri kita sendiri karena pernah melakukan hal tersebut. Apakah semudah itu untuk melakukannya, tentu tidak. Kita harus melalui banyak proses yang bisa dibilang berliku.
Tokoh utama dalam novel ini, tidak seperti di banyak kisah fiksi yang digambarkan sebagai orang yang baik, penampilan menarik, dan semua kosakata positif yang melekat lainnya. Agam atau yang akrab dipanggil Bujang dan Si Babi Hutan, adalah seseorang yang tumbuh dengan banyak luka. Tidak hanya luka di tubuh, tetapi juga hatinya. Ia juga tumbuh bersama orang-orang yang terluka, hingga ia tidak tahu bagaimana harus menyikapi luka itu.
Agam menekan perasaannya, melawan luka itu dengan terus berlari, mencapai banyak hal besar yang mengagumkan untuk sekadar menutupi lukanya. Membenci masa lalu dan ingin sekali bisa mengubahnya, tetapi itu tidak membuahkan apa-apa. Hingga seorang guru menasihatinya, mengajari Agam bagaimana ia harus memeluk erat semua luka dan kebenciannya. Sehingga hatinya menjadi lebih damai, ia mengakui perasaan takut di hatinya tapi kini ia memiliki tempat berserah. Mengupayakan semuanya sebaik mungkin, lalu menyerahkan sisanya pada Yang Maha Berkuasa.
Saya suka genre thriller dan Tere Liye sukses menyajikan ketegangan dalam novel ini. Tetapi tidak hanya sebatas adrenalin saja, ada makna mendalam juga yang tersirat. Saya seperti menemukan jawaban atas kegelisahan yang kerap saya alami, tentang penyesalan mendalam di masa lalu dan rentetan luka yang menyertainya. Adakalanya luka itu ingin dipeluk, perasaan sedih itu perlu diakui, dan masa lalu yang butuh penerimaan. Denial atau penolakan tidak akan menyelesaikan apa pun, hanya menambah tumpukan beban di hati.
Yah, pada akhirnya kita tidak pernah melawan siapa pun karena musuh terbesar itu ada pada diri kita sendiri. Ada dua kutipan favorit saya di novel ini, yaitu:
“Sejatinya dalam hidup ini, kita tidak pernah berusaha mengalahkan orang lain, dan itu sama sekali tidak perlu. Kita cukup mengalahkan diri sendiri. Egoisme. Ketidakpedulian. Ambisi. Rasa takut. Pertanyaan. Keraguan. Sekali kau bisa menang dalam pertempuran itu, maka pertempuran lainnya akan mudah saja.”
– Guru Bushi, novel Pulang.
“Peluklah semuanya, Agam. Peluk erat-erat. Dekap seluruh kebencian itu. Hanya itu cara agar hatimu damai, Nak. Semua pertanyaan, semua keraguan, semua kecemasan, semua kenangan masa lalu, maka peluklah erat-erat. Tidak perlu disesali, tidak perlu membenci, buat apa? Bukankah kita selalu melihat hari yang indah meski di hari terburuk sekalipun?”
– Tuanku Imam, novel Pulang.
Wah seru kali mba reveiw bukunya, bakal kujadiin tempat tanya buku-buku bagus nih....siap-siap yaa hihi
hwaa makasih kak, masih pemula saya nih. saling berbagi reading list aja yukš¤
Salah satu penulis Favku juga beliau, emang karya²nya keren² dan beda dari yang lain
iya, buku serialnya bikin nagih kak
Novel inilah yang jadi titik balik saya, hingga akhirnya bersepakat dengan diri sendiri untuk memulai proses penerimaan. Berat awalnya, tapi harus dilakukan.
wah, semangat kak.