Terpasung Mitos

Aku punya pengalaman kurang mengenakkan dalam masalah percintaan. Sering kena ghosting sudah menjadi hal biasa. Baru beberapa saat mengenal seseorang, tapi justru ditinggal pergi tanpa kabar. Ah, sudahlah tak perlu ku ceritakan bagian itu.

Namun, Tuhan tak pernah tidur. Diam-diam skenario tak terduga telah dipersiapkan oleh-Nya. Kecintaan terhadap alam membawaku pada kisah yang tak terduga. Kisah ini bermula saat pendakian di puncak tertinggi Jawa tiga tahun lalu.

Gunung Semeru merupakan arena uji adrenalin bagi pecinta alam, karena untuk sampai ke puncak Mahameru membutuhkan perjuangan ekstra. Ketika aku bersama rombongan telah menempuh perjalanan kurang lebih enam jam, kami tiba di tanjakan cinta.

Mitos terkenal ketika melewati tanjakan itu adalah kita harus berjalan tanpa menoleh ke belakang sedikit pun, sambil membayangkan sosok pujaan hati. Mereka yang berhasil melakukannya, maka cinta mereka akan bersatu. Akan tetapi jika gagal dan menoleh ketika melewati tanjakan cinta, menurut mitos itu cinta mereka akan putus. Entah benar atau salah, tapi banyak pendaki yang mempercayai mitos tersebut.

Pemandangan Ranu Kumbolo sayang sekali untuk dilewatkan, terlebih akan tampak semakin indah jika dilihat dari tanjakan.

“Jangan nengok, Bro!” seru temanku ketika aku hendak memutar kepala.

“Yaelah, lu percaya?” candaku seraya terus melangkah. Jalan setapak dengan kemiringan 45° ini sangat menguras tenaga, napasku tersengal-sengal tiap menaiki tanjakan. Tiba-tiba di tengah perjalanan, aku mendengar teriakan seseorang.

“Bro!” teriakku memanggil Rama, seorang teman yang memimpin pendakian ini. Dia bergeming.

“Lu dengar suara itu? Ada yang teriak dari belakang,” seruku seraya menghentikan langkah. Aku menepuk pundak Rama dari belakang.

“Jangan macem-macem, deh! Gue nggak denger apa-apa,” bantah Rama tanpa menengok ke arahku. Gila, dia benar-benar percaya dengan mitos itu.

Suara itu lagi-lagi terdengar, “Mas! Tolongin saya!”

Aku tercekat. Bagaimana bisa aku melupakan kemanusiaan demi mitos konyol yang belum tentu kebenarannya? Dengan sedikit keraguan, aku memutar kepala. Betapa terkejutnya ketika ku dapati seorang gadis sedang terduduk lemas di atas rerumputan. Aku berlari mendekat ke arahnya.

“Mbak, Ya Allah!” seruku panik. Teman-teman mungkin tak menyadari jika aku keluar dari rombongan mereka. Ya sudahlah, gadis ini lebih membutuhkan pertolongan.

“Ini minum dulu,” ujarku menyodorkan botol mineral. Wajahnya tampak begitu pucat, bibirnya kering. Mungkin gadis ini tertinggal dari rombongan dan kehabisan bekal.

Tiga puluh menit beristirahat, setelah kuberi sepotong roti dan air mineral, staminanya perlahan pulih. Wajahnya tak sepucat tadi.

“Makasih banyak, Mas, sudah mau nolongin saya. Nggak tahu lagi kalau nggak ada Mas-nya nasib saya gimana,” ucap gadis itu dengan senyum paling tulus yang pernah kutemui.

“Nggak apa-apa, Mbak. Saya juga heran kenapa yang dengar panggilan mbak cuma saya aja, teman-teman nggak ada yang denger, loh.”

Ia meneguk air minum lagi, netra matanya menatapku lekat.

“Saya Sania.”

***

Sejak pertemuan pertama kami di tanjakan cinta, hubunganku dan Sania semakin dekat. Entah kebetulan atau sudah ditakdirkan, ternyata kami sama-sama kuliah di Bandung. Setiap libur kuliah, dia sering mengajakku bertemu. Atau melakukan pendakian bersama teman-temannya.

“Hamdan,” panggilnya di ujung sana. Aku mendekatkan ponsel ke telinga, “Kita ketemu besok di tempat biasa.”

Singkat, tapi memikat. Begitulah gambaran tentang Sania, gadis tomboi yang mampu membuatku terbuai. Setelah sekian lama tidak bertemu karena kesibukan masing-masing, dia secara tiba-tiba mengajakku untuk bertemu. Benar-benar mengundang rasa penasaran.

“Oke, Sania. Aku tunggu besok di tempat biasa.”

Sesuai dengan permintaannya kemarin, aku menunggu di tempat biasa. Sebuah gazebo yang bentuknya mirip dengan rumah panggung, dikelilingi oleh pepohonan yang rindang. Tempat biasa kami bertemu, mengerjakan tugas bersama atau sekadar ngobrol biasa. Jika sudah berada di sini, bisa berjam-jam lamanya kami bercengkerama. 

“Kok lama banget, ya. Gue kayaknya udah sejam nunggu di sini, tapi dia nggak datang juga.” gumamku sambil terus mencoba untuk menghubunginya.

Sebenarnya ada apa dengan Sania, dia sama sekali tak mengangkat panggilan dariku. Adakah sesuatu yang penting sampai mengajak untuk bertemu. Selang beberapa lama, tak jauh dari tempat ini seorang pria mendekat ke arahku.

“Mas Hamdan, ya?” tanya orang itu tiba-tiba. “Ini ada titipan dari Mbak Sania.”

Aku mengernyitkan kening, kenapa Sania menyuruh orang untuk datang kemari. Aku benar-benar bingung sekarang.

“Iya, saya Hamdan. Memangnya Sania ke mana, Mas?” cercaku dengan pertanyaan yang kini bercokol di otak.

“Saya cuma disuruh ngasih ini, Mas. Saya permisi dulu,” tukas pria itu seraya beranjak meninggalkan gazebo.

Sebuah kotak berwarna army, aku tersenyum melihatnya. Gadis itu masih saja mengingat warna kesukaanku. Aku membuka kotak itu perlahan, menerka-nerka apa isi di dalamnya.

“Wah!” Mataku berbinar saat melihat isinya. “Dia ngasih gue tas carrier ini,” seruku seraya mengeluarkan benda itu dari kotak. Tas carrier warna army, benda yang sejak dulu aku incar. Ketika hendak memakainya, secarik kertas terjatuh. Keningku mengernyit, ada suratnya.

Aku mengambilnya, menatap heran pada surat misterius ini. Sania memang penuh teka-teki, sebenarnya dia ingin memberi kejutan apa padaku.

Tubuhku bergetar hebat kala membaca satu persatu kalimat yang tertulis di sana. Ada semacam emosi yang meledak-ledak dalam rongga dada, seakan ada tenaga besar yang memukulnya dengan keras. Tanganku mengepal, sementara air mata telah memenuhi pelupuk mataku.

“Sania,” gumamku tertahan. Butiran air jatuh bersamaan dengan kalimat lugas yang ia tulis di surat ini.

~

Teruntuk Hamdan, laki-laki baik yang kutemui tiga tahun lalu

Sejak pertama kali kamu datang menolongku waktu itu

Aku sudah menaruh simpati padamu

Lalu, kita telah melalui banyak hal bersama 

Kamu menciptakan kenangan yang cukup dalam untukku

Aku yakin harapan kita sama

Untuk terus bersama hingga usia senja

Namun garis takdir seolah berkata lain

Hamdan, garis takdir yang kumaksud adalah tentang kita

Bukankah aku pernah bercerita padamu, bahwa keluargaku sangat memegang erat tradisi leluhur 

Mereka percaya jika wanita Sunda menikah dengan lelaki Jawa, maka tak akan bahagia

Ayah menyuruhku untuk menyudahi hubungan ini

Aku bisa apa

Kuharap kamu mengerti,

Sania

~

Tanpa sadar tanganku meremas surat ini, melemparkan jauh-jauh. Berteriak sekuat tenaga untuk meluapkan segala emosi yang memuncak di dada. Ah, mitos tanjakan cinta mungkin memang benar adanya. 

Seharusnya aku tak menoleh ke belakang saat itu, sehingga perpisahan ini tak akan pernah terjadi. Lagi dan lagi, seseorang pergi sebelum sempat kumiliki. Apakah memang takdirku menjadi orang yang selalu ditinggalkan, Tuhan?

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url