Bahagia dengan Kekalahan
Adit pulang sekolah dengan muka cemberut, ia meletakkan tas begitu
saja di lantai. Matanya berkaca-kaca seolah menahan tangis sejak tadi. Bu
Lastri yang keheranan buru-buru mendekati putranya. “Ada apa, pulang-pulang kok
cemberut?”
Adit mencebikkan bibirnya kemudian menjawab, “Besok disuruh lomba voli,
aku kan nggak bisa!”
Bu Lastri yang mendengar penuturan Adit hanya tersenyum kecil, ia pikir terjadi apa-apa di sekolah. “Tenang
saja, yang penting Adit berani tanding itu sudah hebat, kok. Menang atau kalah
hanya bonus saja.”
Putra sulungnya itu masih terus menekuk wajah sepanjang hari. Ia
bahkan sulit untuk tidur karena memikirkan pertandingan esok hari. Maklum,
selain jarang olahraga, Adit juga anak yang pemalu.
***
Hari ini berbeda, Adit pulang sekolah dengan binar bahagia.
“Bu, aku menang, loh!” teriak anak itu usai memarkir sepeda.
Sembari mencomot tempe goreng yang baru saja diangkat dari wajan, ia
menceritakan keseruan di sekolah. Saking semangatnya, tak sadar jika tempe itu
masih panas. Ia terkejut, mulutnya menganga dengan lidah terjulur.
“Aduh, panas!” seru Adit sembari mengipasi lidahnya dengan telapak
tangan.
“Kamu asyik cerita sih, sampai-sampai tempe panas asal dicomot aja,”
jawab Ibu dengan kekehan karena melihat tingkah konyol putranya.
Masih bersemangat dengan ceritanya, Adit lalu mengatakan jika ada
salah satu teman satu tim yang tidak masuk sekolah, sakit katanya. Putranya,
seperti kebanyakan anak lain, merasa sebal karena itu berarti anggotanya
berkurang satu.
“Untung ada penggantinya,” ucap Adit dengan mulut penuh tempe.
“Kalau nggak, timku nanti gugur, Buk.”
Meski sibuk dengan masakan, Bu Lastri selalu menanggapi cerita
putranya dengan antusias. Ia tak mau mematahkan semangat anak itu karena merasa
diabaikan.
“Semoga temanmu lekas sembuh, Dit. Didoakan saja,” ujarnya
kemudian.
Diam-diam Bu Lastri mengagumi keberanian putranya, meskipun ia
belum terlalu mahir dalam bermain voli, tetapi ia berani untuk maju. Berbeda
dengan temannya yang memilih beralasan sakit untuk menghindari pertandingan. Ia
tahu karena tadi pagi bertemu anak itu dengan ibunya di pasar.
Keesokan harinya, Bu Lastri menyiapkan sarapan untuk Adit dengan
semangat. Nasi dengan telur ceplok di atasnya tersaji di atas meja, tak lupa
segelas susu yang tandas dalam sekejap.
“Buk, doakan aku menang, ya,” ucap Adit seraya mencium tangan
ibunnya.
“Pasti. Ibu selalu mendoakan yang terbaik buat putra kesayangannya,”
jawab Bu Lastri seraya mengusap lembut rambut hitam legam putranya.
***
Bu Lastri yang sejak pagi sibuk bersih-bersih rumah, kini
mengistirahatkan badannya di ruang tamu. Maklum, ia tak pernah menyewa asisten
rumah tangga. Sayang tenaganya jika harus menganggur, ucap wanita itu
jika ditawarkan pembantu oleh suaminya. Padahal, ia hanya ingin menghemat
pengeluaran. Adit masih membutuhkan banyak biaya untuk pendidikan.
Tampak dari halaman, Adit mengayuh sepedanya dengan raut jauh lebih
bahagia. Anak itu menang lagi mungkin, pikir Bu Lastri.
“Hore!” seru Adit begitu masuk rumah. Bu Lastri semakin yakin
dengan dugaannya tadi.
“Menang lagi, ya?” tebak wanita itu dengan senyum merekah.
“Nggak, Buk. Aku kalah,” jawab Adit begitu entengnya, membuat Bu
Lastri heran. Kalah kok bahagia banget, pikirnya saat itu.
“Aku senang karena nggak ada beban lagi.”
Bu Lastri hanya geleng-geleng kepala mendengar jawaban aneh dari
putranya, jika kebanyakan anak akan menangis jika mengalami kekalahan, putranya
justru merasa senang. Selain itu, ia juga merasa bangga kepada Adit karena
mampu melawan rasa takut karena belum mahir bermain voli.
“Ya sudah, nggak apa-apa. Kalau banyak berlatih, kamu pasti bisa
mahir juga.”