Jejak Atmapraja: #1 Pemakaman
![]() |
Jejak Atmapraja | Foto dari Canva |
Pria bertubuh jangkung terpaku di hadapan sebuah peti. Rangkaian bunga tampak melingkar di atasnya, tak lupa sebuah bingkai foto besar menampilkan seorang gadis cantik yang tengah tersenyum manis. Lesung pipinya tampak begitu memikat, manik matanya begitu teduh dalam potret itu. Seolah mengucap salam perpisahan pada orang-orang yang kini berkerumun di dekat bingkai fotonya.
“Sam, adakah kalimat terakhir yang ingin kau ucapkan untuk Hera?” tanya seorang lelaki sepuh bernama Sebastian Atmapraja, seorang pengusaha kaya raya pemilik Atmapraja Group.
Di luar dugaan, sosok bernama Sam itu melenggang begitu saja menjauhi kerumunan.
“Sam, tunggu!” teriak Tuan Bastian dari belakang, niat untuk mengejar putra sulungnya urung melihat banyak mata tertuju padanya.
Sementara Sam segera menghidupkan mesin mobil, ia memacu kendaraan begitu cepat. Mesin mobilnya berderu kencang di tengah jalanan ibu kota yang padat. Menyalip beberapa mobil dengan ugal-ugalan, teriakan dan suara klakson dari kendaraan lain sama sekali tak ia hiraukan.
“Hera ...,” gumamnya lirih, ia memejamkan mata dengan kasar ketika ingatan bersama adiknya kembali melintas di kepala. “Kenapa jadi seperti ini!” teriak pria itu frustrasi, tangannya memukul kemudi dengan keras.
Mobil Ferrari itu meluncur dengan mulus menuju sebuah gedung yang menjulang tinggi di tengah kota, Atmapraja Group. Sam langsung menaiki lift menuju ruang kerjanya, tempat yang ia percaya untuk menyimpan semua privasi.
Begitu rak buku bergeser, sebuah ruangan yang cukup luas menyambutnya. Matanya menyipit saat penerangan dalam ruangan itu menyala otomatis ketika pintu terbuka. Ruangan ini letaknya tersembunyi dalam ruang kerja Sam, semacam ruangan rahasia.
Ia menghempaskan badannya ke atas sofa beludru yang berada di tengah ruangan. Mengusap wajahnya dengan kasar. Tangannya meraba ke atas meja, mencari pigura foto yang ia letakkan sembarang. Matanya tampak berkaca-kaca.
“Kenapa secepat ini, Hera? Bukankah kemarin kau bilang jika aku harus datang ke acara pernikahanmu nanti?” gumamnya dengan nada yang begitu memilukan.
Ucapan dokter semalam kembali terngiang di telinganya.
“Gejala yang dialami pasien seperti kanker stadium akhir.”
Adiknya itu tak pernah mengeluh sakit apa pun, lalu bagaimana bisa ia mengalami gejala seperti itu. Apakah Hera sengaja menyembunyikan semua ini atau dirinya yang terlalu bodoh untuk menyadari jika adiknya sedang merasakan sakit.
“Seharusnya Hansen sialan itu tahu semua ini! Jika dia bicara dari awal, mungkin aku bisa mengusahakan kesembuhannya,” geram Sam dengan tangan terkepal. Ia kemudian meraih ponsel dalam sakunya, mengetikkan nomor yang telah dihafalnya. Sesaat nada sambung berbunyi.
“Ada apa, Kak?” jawab suara dari seberang. Sam memutar bola matanya jengah ketika mendengar suara dan sapaan itu.
“Berhenti memanggilku seperti itu, kau bukan adikku!” bentaknya dengan raut muka kesal setengah mati.
“Ya ... Ya ... Ada apa?”
“Apa kerjaanmu selama ini, hah! Sampai-sampai adikku sakit saja tidak tahu?!” Sam meluapkan emosinya pada Hansen, calon suami Hera. Sejak awal ia memang tidak pernah menyetujui penyatuan hubungan itu.
“Hei, Kak, tidak bisakah kau berhenti marah-marah? Telingaku panas mendengarnya,” ujar Hansen dengan suara keras. Hening beberapa saat. Ketika Sam hendak berbicara lagi, suara Hansen kembali terdengar.
“Tunggu, Hera sakit!?” seru Hansen yang kedengarannya terkejut mendengar penuturan Sam.
“Bodoh.” Sam memutus panggilan sepihak, percuma bicara dengan pria itu. Tak ada informasi apa pun yang bisa ia dapatkan.
“Hansen yang sudah menjadi pacarnya selama bertahun-tahun bahkan tidak tahu,” gumam Sam dalam keheningan yang ia ciptakan sendiri.
Ia terlonjak dari duduknya ketika mendengar langkah kaki memasuki ruang kerjanya. Sam kemudian berjalan begitu pelan menuju pintu yang dari dalam tampak berwarna putih, tapi dari luar terlihat seperti rak buku biasa.
Sam membuka sedikit pintu sepelan mungkin agar tak menimbulkan suara, lalu menajamkan pendengarannya. Ia juga melihat suasana di luar melalui rekaman dari CCTV yang sengaja dipasangnya.
Papa?
Pria bersetelan jas lengkap tampak mencari-cari sesuatu di atas meja kerjanya, memeriksa beberapa dokumen yang ada di sana. Pemandangan seperti itu sudah biasa. Meskipun Sam telah menerima tampuk kepemimpinan perusahaan ini, tapi Tuan Bastian sesekali datang untuk memeriksa kinerja putranya.
Sam mengernyit ketika Papanya tampak begitu gusar. Berkali-kali ia memeriksa dokumen di sana, tapi sepertinya tak ia temukan. Tuan Bastian meraih ponselnya, memeriksa suasana sekitar. Lalu, mengetikkan sesuatu di layar.
Sesaat panggilan tersambung, tak mampu terdengar begitu jelas. Namun, tampaknya obrolan mereka begitu serius. Papanya memasang raut muka terkejut dan mengucapkan kalimat dengan nada tinggi.
“Polonium-210 Anda bilang?!” seru pria sepuh itu begitu keras. Sampai-sampai terdengar nyaring di telinga Sam.
Setelah selesai merapikan kembali dokumen yang telah ia acak-acak, Tuan Bastian segera meninggalkan ruangan. Sementara sebuah pertanyaan besar muncul di benak Sam. Mengapa Papanya sampai panik seperti itu? Siapa yang dihubunginya tadi? Lalu, dokumen apa yang dia cari-cari di ruangan ini?
Belum usai pertanyaan itu, tiba-tiba ponselnya berdering.
“Sam, segera menyusul di pemakaman Hera. S-e-k-a-r-a-n-g!” ucap Papanya penuh penekanan pada kata terakhir. Bukankah dia juga belum sampai di pemakaman, lalu kenapa menyuruhnya buru-buru seperti ini. Merepotkan saja.
***
Kompleks Pemakaman Teratai Indah cukup ramai hari ini, di ujung sana orang-orang tampak berkerumun. Sam buru-buru melangkahkan kaki ke sana. Mengenakan kacamata hitam untuk menyembunyikan linangan air mata di pelupuknya.
Ia cukup terkejut ketika Tuan Bastian sudah berada di antara para pelayat, menaburkan bunga di atas tanah makam yang masih basah. Kesedihan terpancar jelas dari raut wajahnya.
“Kak, akhirnya datang juga,” sapa Hansen seraya tersenyum penuh simpati, meski ia sendiri tak kalah hancurnya.
Sam hanya mengangguk, tak berniat membuat keributan di depan pemakaman adiknya. Bagaimana pun juga, Hansen adalah orang yang dicintai Hera.
“Semoga tenang di sana, Hera,” gumamnya lirih yang membuat Tuan Bastian menoleh.
Ketika semua orang telah pergi dan yang tersisa hanyalah dirinya dan Tuan Bastian, ia memberanikan diri untuk bertanya.
“Pa,” panggil Sam sambil beranjak dari duduknya. Tuan Bastian menoleh.
“Kenapa tadi ke kantor?” tanya Sam secara frontal, yang nyatanya mampu membuat Papanya terkejut. Wajahnya kembali biasa sesaat kemudian, mengingat Sam memiliki akses penuh pada perusahaan, tak heran jika mengetahui keberadaan dirinya di kantor tadi.
“Bukan apa-apa, hanya ada berkas yang tertinggal,” jawab pria itu dengan tenang.
“Sebegitu pentingnya sampai meninggalkan Hera?”
Tuan Bastian menghela napas panjang. “Cukup, Sam. Jangan memulai perdebatan di depan makam adikmu.”
Pria itu lantas meninggalkan kompleks pemakaman tanpa memberi jawaban yang memuaskan.
“Apa maksudnya dengan Polonium-210, Pa!” teriak Sam dari kejauhan. Tuan Bastian menghentikan langkahnya, terkejut mendengar teriakan putra sulungnya.
“Dia sudah tahu,” gumam Tuan Bastian seraya kembali melangkah.
– to be continued.
Waw waw waw... Apakah ada si Papa ada kaitannya dengan kematian Hera? Huu ditunggu kelanjutannya kak
hwaa semua kemungkinan bisa terjadi sih
Waduh "bersambung". Padahal lagi seru-serunya. Jadi penasaran kelanjutannya gimana. By the way, Hansen nggak tahu Hera sakit? Jadi tahunya Hera meninggal karena apa? Maaf, Kak, saya kepo. :')
nah ini bakal terjawab di episode selanjutnya, stay tune ya kakš¤
Argh! Paling gemes sama cerbung misteri gini... Lanjutin Kaakkk...