Jejak Atmapraja: #2 Polonium-210


Polonium-210 | Foto dari BBC News

Seorang pria berpakaian jas putih baru saja keluar dari ruang autopsi, sembari membawa beberapa dokumen. Ia berjalan dengan tergesa menuju ruang dokter, wajahnya menunjukkan gurat kekhawatiran. Beberapa saat kemudian, tangannya mengetikkan sesuatu pada layar ponsel.

“Halo, Pak Tian.” Pria itu sedikit gugup, beberapa kali meneguk salivanya.

“Iya, Dokter Finsen. Bagaimana hasilnya?” sambung suara dari seberang dengan memburu. Hal itu menambah kegugupan dalam dirinya.

“Saya dan tim sudah melakukan proses autopsi pada jenazah Hera, Pak. Ada satu hal yang bisa kami simpulkan ...,” ia menjeda ucapannya. “ ... Putri Anda tidak mengalami gejala kanker stadium akhir seperti yang diduga sebelumnya.”

Dokter Finsen menghela napas panjang, kemudian mencoba untuk kembali rileks.

“Ada kandungan Polonium-210 dalam tubuh Hera yang sudah menyebar ke beberapa organ. Tak banyak, kadarnya hanya 0,1 mikrogram. Tapi perlu Anda tahu jika zat ini beracun. Dan,” potong Dokter Finsen. “Sangat mematikan.”

Hening di seberang sana, sampai suara beroktaf tinggi masuk ke pendengarnya.

“Polonium-210 Anda bilang?!” seru Tuan Bastian. Ia sudah menduga jika Pak Tian alias Sebastian Atmapraja akan sangat terkejut mendengar kabar ini.

“Saya harap Anda segera memberitahukan Sam tentang hal ini,” pungkasnya sebelum mengakhiri pembicaraan. Mungkin dia bisa diam-diam melakukan proses autopsi tanpa sepengetahuan putranya, tapi cepat atau lambat semua pasti akan terbongkar.

Dokter Finsen menghela napas lega setelah mengabarkan hal ini kepada Tuan Bastian. Sejak putrinya dikabarkan meninggal karena kanker stadium akhir, pria baruh baya itu langsung meminta Pihak Kepolisian untuk melakukan autopsi pada jenazah putrinya.

Tuan Bastian menyangsikan kesimpulan dokter tentang penyebab kematian putrinya. Dan benar saja, seminggu sejak autopsi dilakukan, hasil laboratorium menunjukkan informasi yang mengejutkan.

***

Sam buru-buru mengejar Papanya, menyejajarkan langkah mereka.

“Tunggu, Pa! Ada yang ingin aku tanyakan,” ucap Sam mencegah Tuan Bastian memasuki mobil.

“Papa sibuk, Sam. Kita bisa bicarakan lain waktu.”

Namun, tampaknya Sam tak mau menyerah. Kini langkahnya telah mendahului Tuan Bastian.

“Apa ini ada hubungannya dengan kematian Hera?”

Pria tua itu sontak menghentikan langkah. Menatap tajam ke arah putranya.

“Jangan berasumsi sesuka hatimu, ini tak ada kaitannya dengan Hera,” ucap Tuan Bastian seraya mengalihkan pandangan dari Sam. Anak itu begitu lihai membaca ekspresi seseorang.

“Sam harap Papa tidak sedang berbohong kali ini atau aku akan mencari tahu semuanya sendiri,” ancamnya seraya berlalu pergi.

Tuan Bastian menatapnya dari kejauhan, ada perasaan bersalah karena telah menyembunyikan semua ini.

***

Pria muda itu memasuki ruang kerja dengan wajah kesal, jelas sekali kalau ada yang disembunyikan oleh Papanya. Jika sampai ada hubungannya dengan Hera dan sengaja dirahasiakan darinya, Sam pastikan ia akan sangat marah.

Sesaat ia kembali teringat dengan kedatangan Tuan Bastian ke ruangan ini pagi tadi, dokumen apa yang sebenarnya dia cari. Sampai-sampai wajahnya terlihat begitu panik. Sam kembali memeriksa meja kerjanya, mengecek apakah ada salah satu dokumen yang hilang.

Pandangannya tertuju pada sebuah amplop surat yang kemarin ia terima dari seseorang. Entah apa isinya, mungkin pernyataan kalau adiknya itu ternyata mengidap penyakit kanker.

“Hera ... Hera ... Bertahun-tahun hidup bersama, tapi masih saja menyembunyikan hal sepenting ini dariku? Apa sebenarnya kau masih menganggapku kakak?” gerutunya sendiri. Daripada membaca kabar menyakitkan itu, ia lebih memilih untuk mencari tahu tentang Polonium-210. Satu hal yang membuat Papanya berbicara dengan nada tinggi.

Ia mulai mencari tahu mengenai zat itu di internet. Sam cukup terkejut setelah membaca sebuah artikel yang menyatakan kalau polonium adalah unsur radioaktif yang sangat berbahaya. Polonium-210 pertama kali ditemukan pada tahun 1898 oleh ilmuwan Marie dan Pierre Curie.

“Bahkan sampai digunakan untuk kepentingan politik,” gumamnya ketika menemukan nama Yasser Arafat dan Alexander Litvinenko sebagai korban.

“Tunggu!” serunya seraya bangkit menuju rak tempatnya menyimpan amplop tadi. “Amplop ini, apa mungkin ....”

Wajahnya menjadi tegang ketika membaca isi amplop itu, netranya membaca satu persatu informasi dengan teliti. Tangannya mengepal ketika mengetahui jika surat itu bukanlah pernyataan penyakit yang diderita Hera, melainkan surat hasil autopsi.

“Papa!” bentaknya kemudian pergi meninggalkan ruangan dengan emosi yang meledak-ledak.

Sepanjang perjalanan mulutnya tak henti-henti melontarkan umpatan kekesalan, bagaimana bisa hal sebesar ini dirahasiakan darinya. Wajahnya memerah, sesuatu yang khas ketika Sam Atmapraja sedang menyimpan amarah.

Begitu tiba di rumah, Sam langsung menuju kamar Papanya. Ketika berada di depan pintu, ia sempat mendengar Papanya sedang berbicara dengan seseorang.

“Segera cari surat itu sebelum Sam menemukannya terlebih dulu!” seru Tuan Bastian begitu tegas dengan penekanan di tiap kata. Merasa namanya disebut, Sam langsung membuka pintu kamar Papanya tanpa basa-basi.

“S-Sam,” ucap Tuan Bastian dengan terbata.

“Apa yang Papa maksud adalah surat ini?” tanya Sam seraya mengangkat amplop yang ia temukan. Tuan Bastian membelalakkan matanya.

“I-itu, Papa bisa jelaskan ....”

“Cukup, Pa! Jangan bohong lagi, Sam sudah tahu semuanya.” Pria muda itu mencoba untuk mengontrol emosi. “Sekarang jelasin ke Sam tanpa ada yang ditutup-tutupi.”

Tuan Bastian tak bisa mengelak lagi setelah bukti itu sudah berada di depan mata. Ia menenangkan dirinya dengan duduk di tepi ranjang, sementara Sam tetap berdiri di hadapannya.

“Papa masih belum percaya dengan pernyataan dokter kalau Hera meninggal karena sakit. Meski tidak terlalu perhatian pada kalian, tapi Papa tahu seluk beluk anak-anak Papa.”

Sam membuang muka ketika mendengar ucapan Papa barusan, bukan anak-anak, tapi hanya Hera.

“Papa tak pernah peduli padaku, bahkan hari ulang tahunku saja mungkin Papa telah lupa.”

“Hera tidak sakit, Sam. Jika memang dia menderita kanker, pasti gejalanya sudah tampak dari dulu. Tapi anak itu baru menunjukkan gejala selama satu minggu terakhir, bagaimana bisa dokter itu dengan mudah menyatakan kalau Hera mengalami gejala kanker stadium akhir. Bukankah itu tidak masuk akal?!” bantah Tuan Bastian dengan bersungut-sungut.

“Lalu Papa bisa seenaknya sendiri melakukan autopsi tanpa sepengetahuan Sam?” tanya putra sulungnya yang jelas-jelas menunjukkan protes.

“Hera anak Papa, Sam. Proses autopsi bisa berjalan tanpa persetujuan darimu,” jawab Tuan Bastian lugas. Hal itu membuat Sam semakin marah.

“Tapi Hera juga adikku! Dan Sam berhak untuk tahu semua hal tentang dia!” seru Sam hingga urat-urat lehernya tampak.

“Berhenti bersikap seperti bocah! Yang terpenting sekarang, bagaimana bisa racun itu ada dalam tubuh adikmu,” sergah Tuan Bastian yang membuat Sam memutar bola mata kesal.

Ia terdiam. Ucapan Papanya benar, tidak mungkin racun itu bisa masuk sendiri ke tubuh Hera. Pasti ada seseorang yang sengaja mencampurkan ke makanan atau minuman adiknya.

“Apa Hera punya ...,” Sam ragu mengucapkannya, “...musuh?”

- to be continued.
Next Post Previous Post
3 Comments
  • Analisa Muya
    Analisa Muya 2 Juli 2024 pukul 21.06

    Hemmmm penasaran...siapa yang meracuni si adik dn apa juga motof meracuninya...dtunggu kelanjutannya kak

  • Monica Rasmona
    Monica Rasmona 2 Juli 2024 pukul 21.54

    Yah, bersambung lagi. Jadi makin penasaran, kan. Hhe. Mau curiga sama tunangan Hera, tetapi itu terlalu mainstream. Apakah harus curiga sama Sam? :')

  • seratanuswa
    seratanuswa 3 Juli 2024 pukul 18.23

    Apakah Hansen?
    Atau papanya?
    Jangan-jangan Sam karena ingin jadi ahli waris tunggal.
    Atau Hera sendiri yang bunuh diri.
    Apa mungkin dia saah minum obat?
    Ataukah nanti muncul tokoh baru?
    Ah, banyak sekali kemungkinannya.

Add Comment
comment url