Kelana Bersuara

Sudah satu jam gadis dengan tinggi semampai itu berada di ruang tunggu bersama mahasiswa lainnya. Sejak tadi ia mondar-mandir menunggu gilirannya dipanggil. Ia bahkan menghampiri teman-temannya yang baru keluar dari ruang wawancara, mencari tahu pertanyaan apa saja yang tadi diajukan.

“Lintang Kelana!” seru petugas memanggil nama gadis itu agar memasuki ruangan.

Merasa namanya disebut, degup jantung gadis itu semakin tak karuan. Ia menenggak air minum agar gemuruh dalam dadanya sedikit mereda. Gadis bernama Kelana itu menghela napas panjang sebelum memasuki ruangan, kemudian merapal doa.

“Silakan,” ucap seorang pria berusia sekitar lima puluh tahun menyuruh Kelana duduk, gurat wajahnya yang tegas membuat Kelana merasa terintimidasi.

“Saudara bisa mulai dengan memperkenalkan diri,” ucap pria di hadapannya yang bernama Pak Burhan itu.

Kelana cukup lancar memperkenalkan diri dan latar belakang pendidikannya, termasuk beberapa prestasi yang ia torehkan selama sekolah. Namun, saat tiba di beberapa pertanyaan yang membutuhkan jawaban kritis, gadis itu perlu waktu beberapa saat untuk memikirkannya.

Pak Burhan yang merupakan Wakil Dekan Fakultas Ilmu Sosial Humaniora itu menatap Kelana sejurus kemudian, bersiap mengajukan pertanyaan tendensius yang membuat Kelana berada dalam situasi dilematik.

“Apa pendapat Saudara tentang demo yang terjadi saat ospek kemarin? Setuju atau tidak?”

Kelana sudah ingin menjawab dengan tegas bahwa ia setuju, tapi perkataan itu hanya berhenti di ujung kerongkongan saja. Dari informasi yang beredar, ia harus menunjukkan keberpihakan pada kampus. Artinya, jika menyetujui tindakan demo maka sangat kecil kemungkinan untuk lolos seleksi. Sementara satu-satunya jalan agar ia bisa kuliah adalah dengan beasiswa ini.

“Menurut saya, Pak, selama demo berjalan tertib dan damai, itu sah-sah saja. Tapi kalau sudah anarkis, tentu saya tidak setuju,” jawab Kelana secara diplomatis, kendati bertentangan dengan nuraninya.

Seolah tak puas dengan jawaban Kelana, Pak Burhan kembali menyanggah, “Demo tetap demo. Ujung-ujungnya bikin rusuh juga.”

Kelana tidak menanggapi, hanya melempar senyum dan berharap pertanyaan berganti ke topik lain. Dalam hatinya gadis itu tak henti merapal doa agar jawaban yang ia berikan membawanya lolos seleksi beasiswa.

***

Tiga tahun sejak seleksi itu, perkuliahan berjalan lancar. Kelana menyelesaikan tugas kuliah tanpa kesulitan yang berarti, ia juga aktif dalam beberapa organisasi mahasiswa. Meskipun demikian, rasa gelisah masih mengganjal dalam hatinya.

Gadis itu tak tahan melihat kebijakan kampus yang makin hari makin menjadi, pendidikan tinggi seolah menjadi komoditas ekonomi. UKT yang melambung tinggi tanpa adanya transparansi, sementara mahasiswa dipaksa menerima kebijakan tanpa ada penolakan.

Hal yang paling menyesakkan adalah Kelana hanya bisa diam dalam geram. Nuraninya menolak, tapi beasiswa yang ia terima memaksanya terus berpihak. Sudah rahasia umum jika kampusnya memiliki nama yang mentereng, bahkan menjadi kampus favorit di ibukota. Namun, siapa sangka jika banyak mulut yang terbungkam untuk menjaga nama baik kampus.

Pagi itu, Kelana mengikuti kuis yang dilaksanakan secara mendadak oleh dosennya. Untung saja semalam ia sempat membaca buku, sehingga tidak kesulitan saat mengerjakan.

Setelah menyelesaikan kuis, Kelana memilih duduk di bangku belakang. Teman-temannya berkumpul dalam circlenya masing-masing, suara mereka bercampur dengan alunan musik dari earphone Kelana.

Tiba-tiba, Ajeng berteriak, mengangkat ponselnya tinggi-tinggi. “Guys, lihat nih! Kampus kita masuk majalah Amerta!”

Gadis itu kemudian menunjukkan artikel berisi kritik tajam terhadap kebijakan kampus yang menaikkan UKT untuk mahasiswa baru.

Masalahnya tulisan itu terbit di media yang namanya sudah besar dan pembacanya luas, sehingga jika nama kampus mereka muncul sudah pasti jadi perbincangan banyak orang. Beberapa berdecak kagum dengan keberanian penulis dan bertanya-tanya siapakah dia, di sana hanya tertulis anonim.

Selama ini, satu-satunya media yang berani mengkritik kampus hanyalah Majalah Lentera yang merupakan LPM jurnalistik kampus. Ini adalah kali pertamanya ada orang luar yang berani melayangkan kritik pada kampus mereka.

Kelana yang melihat kehebohan itu hanya terdiam di bangkunya, tak tertarik bergabung. Hal itu mencuri perhatian salah satu teman sekelasnya, “Lo nggak ikut nimbrung, Lan? Mereka lagi asik ngomongin penulis belagu yang sok banget kritik kampus kita, tuh.”

“Yaelah,” Kelana mendengus, menatap Bara. “Kampus kita pantes kok dapat itu, udah cukup lama tutup mata. Harusnya mereka mulai sadar dan lihat kenyataan di lapangan,” jawabnya tegas, sebelum berbalik meninggalkan kelas. Tingkah Kelana itu memancing kecurigaan Bara, membuatnya tergerak untuk mencari tahu lebih dalam.

***

Kericuhan kembali terjadi saat sebuah tulisan terpajang di mading Fakultas Ilmu Sosial Humaniora. Kritik yang lebih tajam kembali terbit dari media yang sama dengan sebelumnya, tulisan tersebut berjudul “Mahasiswa Kritis Jadi Ancaman Bagi Kampus Anti-Kritik”.

Namun, sumber kehebohan yang sebenarnya berasal dari pojok bawah artikel, di sana tertulis nama ‘Lintang K’. Hal itu sontak membuat mahasiswa ILKOM ricuh, beberapa menduga bahwa Kelana adalah penulis dari artikel tersebut. Namun, saat mencoba mencari keberadaannya, mahasiswi itu justru tak ditemukan di mana pun.

Seminggu sejak artikel itu terbit, beberapa mahasiswa dipanggil ke ruang Dekan, termasuk Kelana. 

Meski ruangan itu dilengkapi pendingin udara, tapi keringat tetap merembes dari pelipis Kelana. Gadis itu menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan perasaan gelisah yang menyelimutinya.

Berdiri di hadapan mereka, Bu Hesti –Dekan Fakultas Ilmu Sosial Humaniora, yang tengah menatap wajah para mahasiswa satu persatu. Seorang dosen yang telah bergelar profesor itu melempar senyum ramah, tapi bagi Kelana lebih tampak menakutkan.

“Kami sangat mendukung mahasiswa yang kritis, sebab itu artinya salah satu visi misi kampus terpenuhi,” ucap Bu Hesti seraya berjalan mengitari mereka.

“Tapi alangkah baiknya, sebelum bertindak juga memikirkan konsekuensi yang akan terjadi. Kampus kita sudah memiliki akreditasi yang tinggi, jangan sampai merusak nama baik yang sudah kita bangun dengan opini tak berdasar,” sambung Bu Dekan bersamaan dengan tatapannya yang terhenti pada Kelana.

Melihat tatapan horor itu, Kelana semakin belingsatan. Tangannya menggenggam erat lengan kursi, berharap menemukan sedikit kenyamanan dalam genggaman itu.

***

Semenjak mendapat peringatan, Kelana memilih tidak berangkat kuliah untuk menghindari interaksi. Namun, tiba di hari ketiga ia menghilang, salah satu nomor tak dikenal menghubunginya. Kelana ragu untuk mengangkat panggilan itu, takut jika ternyata pihak kampus yang mencoba melakukan intervensi padanya.

“Ha-halo,” ucap Kelana dengan terbata saat memberanikan diri mengangkat telepon misterius tadi.

“Halo, nggak usah takut,” ujar suara dari seberang ketika mendengar suara Kelana yang sedikit bergetar. “Kenalin, gue Alam dari LPM Lentera.”

Kelana menghela napas lega setelah mendengar penuturan itu.

“Jadi, setelah tulisan lo viral kemarin, kita udah berusaha nyari lo di kampus. Tapi kata beberapa teman, lo udah nggak berangkat tiga hari.”

Kelana terdiam, apakah dirinya sudah seviral itu sekarang? Kenapa ia gegabah mengirim tulisan ke media, ia tak tahu bagaimana nasib kuliahnya ke depan nanti.

"Sejujurnya gue takut berangkat kuliah semenjak dapat peringatan dari Bu Hesti,” ungkap Kelana yang tanpa sadar mencurahkan kegelisahannya pada orang yang baru ia kenal.

“Iya, gue paham gimana perasaan lo. Temen-temen Lentera dulu awalnya juga kayak gitu, tapi perlahan mereka mulai berani. Kalo bukan kita, siapa lagi yang berani kasih alarm pihak kampus?”

Kelana membenarkan pernyataan Alam dalam hatinya. Meski masih ragu, tapi setitik keberanian mulai menyusup dalam dirinya.

“Kalo nggak keberatan, nanti bakal ada anak Lentera yang jemput lo. Kita ketemu dan bahas masalah ini bareng-bareng sama anak ormawa lain,” usul Alam usai tak ada sahutan dari Kelana.

Lama tak ada jawaban, Alam berdeham untuk memecah keheningan.

“Gue masih ragu,” ujar Kelana dengan suara lirih. Terdengar helaan napas dari seberang.

“Kelana, ingat kata-kata gue. Dalam perjuangan ini, lo nggak sendiri. Ada banyak mahasiswa yang punya kegelisahan yang sama kayak lo, Cuma mereka belum seberani lo untuk speak up. Jadi, kita dari Lentera dan ormawa lain bakal tetep di pihak lo, termasuk kalau ada tekanan dari pihak kampus,” tegas Alam dengan suara baritonnya.

“Oke, gue tunggu,” ujar Kelana setelah memikirkan beberapa saat.

***

Seminggu kemudian, aksi yang telah mereka rencanakan akhirnya terlaksana. Para mahasiswa berkumpul di depan Gedung Rektorat, membawa spanduk dan poster yang berisi tuntutan mereka.

Kelana berada di antara kerumunan, ia tidak menyangka jika apa yang selama ini menjadi keinginannya akhirnya tercapai. Di depan sana, Alam tengah berorasi dengan suara yang lantang.

“Kita berkumpul di sini bukan untuk membuat kekacauan, tetapi untuk menuntut keadilan! Pendidikan tinggi bukan komoditas ekonomi yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang mampu dan berkuasa saja. Kami menuntut transparansi dan keadilan dalam kebijakan UKT!”

Sorak sorai dan tepuk tangan meriah mengiringi setiap kalimat yang diucapkan oleh Alam. Namun, tak lama kemudian, pihak keamanan kampus mulai mendekat. Ketegangan meningkat, Kelana tahu bahwa situasi bisa berbalik kapan saja. Alam dengan tampang yang tenang mendekat ke arah mereka.

“Kami di sini untuk perubahan,” teriaknya dengan penuh semangat. “Dan perubahan itu dimulai sekarang!”

Aksi hari itu menjadi sorotan, media lokal meliputnya. Nama kampusnya menjadi perbincangan banyak orang. Meski menghadapi banyak tekanan dari pihak kampus, mereka terus berjuang. Kini Kelana tak lagi sendiri. Bersama LPM Lentera dan ormawa kampus, ia akan terus memperjuangkan hak-hak mahasiswa.

Sore itu, setelah aksi berakhir, Kelana bersama mahasiswa lainnya duduk di taman kampus. Tiba-tiba Alam menghampirinya.

“Lana, jangan khawatir soal beasiswa lo. Di sini kita ada untuk mencari jalan keluar bersama,” ucap Alam seraya menatap Kelana dalam-dalam.

Kelana mengangguk pelan, merasakan beban di pundaknya sedikit terangkat.

“Gue udah mikir panjang, Lam. Ini bukan cuma tentang kita, tapi juga semua mahasiswa yang akan datang setelah kita.”

Alam tersenyum. “Benar, dan itu yang membuat perjuangan ini berarti.”

Perjalanan belum usai, panjang umur perjuangan!

Next Post Previous Post
6 Comments
  • seratanuswa
    seratanuswa 5 Juli 2024 pukul 17.29

    LPM Lentera? Majalah Amerta? Nama yg tidak asing bagiku, Kak. Seperti bernostalgia membaca nama2 itu? Hehehe..

    Btw, kalau dibikin.novel kayaknya bakal seru bangett 🤩

    • Laila RI
      Laila RI 5 Juli 2024 pukul 18.00

      Wah, iyakah? Nostalgia apa nih?

      Ide bagus tuh, Kak Uswa, pengen juga punya buku solo😍 doakan manusia ini tidak mager, yaa kak 🤭

    • Jirfani
      Jirfani 17 Juli 2024 pukul 14.58

      Ditunggu novel solonya, Kak.

  • hallobia
    hallobia 5 Juli 2024 pukul 21.21

    Nostalgia banget jaman jaman sering demo di depan fakultas sosial humaniora. Kangen banget. Tapi nggak kangen bagian disempot gas air mata sama pulici wkwkwkw

  • Monica Rasmona
    Monica Rasmona 5 Juli 2024 pukul 22.53

    Wah, premis yang waktu itu beneran dieksekusi. Keren, Kak. Cerpennya semantap premisnya.

  • nurvita indarini
    nurvita indarini 6 Juli 2024 pukul 23.36

    Keren, Kak, cerpennya. Aku juga nih salah satu yang menunggu versi novelnya. Semangat Kak!

Add Comment
comment url